MARILAH KITA SENANTIASA BERKATA BAIK, BERBUAT YANG BAIK, BEKERJA DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH DAN SALING MEMBANTU ANTAR WARGA

Sunday 30 October 2011

Salman Faris, Penulis Novel Guru Dane Asal Rensing Bat



Guru Dane, Sejarah Kemanusiaan yang Hilang

Sejarawan Dr Alfons van der Kraan Alfons, dari University of New England, pada 1980 pernah memublikasikan karyanya bertajuk Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment
(Lombok:Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan). Karya ini sempat membuat kegemparan, karena mengulas sejarah kelam masyarakat Sasak
Lombok yang selama ini terkesan ditutupi. Pertama, mengenai ratusan tahun penjajahan Bali yang demikian kejam. Kemudian bagaimana andil para bangsawan Sasak yang bukannya membela rakyatnya, namun turut berkongsi dengan Bali memerah masyarakat Lombok. Terakhir mengenai bagaimana intervensi Belanda yang kemudian mengubah peta kekuasaan.
Alfons menyebut, memang masyarakat Sasak (kalangan bawah) sedikit terangkat dari hukum koloni Bali yang menindas setelah datangnya



Belanda. Namun masalah ternyata tak selesai. Perubahan peta itu hanya memperluas pembagian kekuasaan antara Bali, Bangsawan Sasak, dan Belanda terhadap masyarakat Sasak. Meskipun masih bisa diperdebatkan, ulasan Kraan ini setidaknya mengungkapkan cerita lampau di tengah kekosongan sejarah Lombok.
Namun demikian, baru-baru ini ada seorang akademisi dan budayawan Sasak yang memberanikan diri melengkapi arsip sejarah ini. Namanya Salman
Faris, seniman teater yang  mengulas kembali sosok Guru Dane, tokoh pergerakan masyarakat Sasak yang hidup di penghujung abad 18 hingga awal abad 19 dalam sebuah novel yang ringan dan mudah dimengerti.
Dr Alfons, dalam bukunya juga mengulas Guru Dane dalam kaca mata kolonial sebagai aktor pergerakan ‘’datu-datuan’’. Yakni tokoh perlawanan dengan ciri messianistik (semacam ratu adil) yang mengukuhkan diri sebagai penerus Raja Selaparang, untuk membangkitkan semangat perlawanan masyarakat Sasak terhadap Belanda selepas tumbangnya kekuasaan Bali.
Namun Salman, mengeksplorasi lebih dalam dalam lagi. Ia, mengemas Guru Dane dalam sebuah kaca matanya sebagai seorang Sasak. Guru Dane
dinarasikan sebagai sosok penggerak dari segala keterbelakangan dan kungkungan zalimnya kekuasaan.
Cerita bermula dari kemampuan Guru Dane dalam mengobati. Ia kemudian mampu menyita simpati dan menyatukan semangat masyarakat Sasak dan Bali akar rumput untuk melawan. Memberontak pada Perwangsa Sasak yang lalim, Bangsawan Bali yang kejam serta Kolonial Belanda yang sedang berkuasa. Melalui Mitos Raja Selaparang, ia menyebarkan kesadaran persamaan hak di atas segala perbedaan kasta dan kelas sosial yang sengaja dilestarikan para penguasa kala itu.
Guru Dane lahir di Kuripan, Lombok Barat, sekitar 1870. Salman, menggambarkan masa muda Guru Dane dekat dengan penguasa Bali. Seteleh Belanda datang, ia mulai berubah dan memulai menebar pengaruhnya di Desa Pujut, Lombok Tengah, sekitar tahun 1906. Dengan gelar Lalu Nurlimbu Dusta Pendita dan Dewa Mas Panji Kimalan, ia menuai pengaruh demikian besar yang membuat Kepala Desa Pujut berang karena kekuasaannya atas rakyat tertandingi.
Sang kepala desa melapor pada Belanda. Meski tanpa salah, Guru Dane ditangkap dan dihukum enam bulan dari April-Oktober 1906. Selepas
hukuman, Guru Dane kemudian pindah dari Pujut ke Tempos, Lombok Barat yang tak jauh dari tanah kelahirannya. Di sini pengaruhya semakin membesar dan membuat para bangsawan Sasak dan Belanda semakin ketar-ketir. Guru Dane kembali ditangkap dan ditahan pada Februari 1907 atas aneka tuduhan yang tak jelas.
Selepas dari tahanan, simpati masyarakat semakin banyak. Pada 1910 Belanda kembali menangkapnya. Namun karena sangkaan yang tak bisa dibuktikan, ia dibebaskan di tahun yang sama. Demikian seterusnya.
Ketakutan Belanda serta iri hati para bangsawan Sasak yang saat itu berkuasa membuat Guru Dane akhirnya benar-benar dihilangkan. Januari 1918, ia dibawa penguasa dari Dermaga Ampenan entah ke mana. Hilang hingga kini menyisakan legenda mengenai sosok kharismatik itu.
Dalam bahasanya yang sederhana, Salman menghidupkan epos yang dibangunnya dalam Novel Guru Dane dengan sejumlah tokoh lain yang menemani hidupnya. Ada Sumar yang digambarkan sebagai anak angkat yang memberinya kekuatan. Ada Made Sudase, murid dan pengawal setia yang dari kalangan Bali kasta terendah.
Juga ada Sosok Ketut Kolang dan Putu Sunarie yang menggambarkan hubungan politis Guru Dane dengan perwangsa Bali. Tentu saja ada Jero Mihram dan Haji Majid, tokoh pergerakan Sasak Timur dari yang pro-perubahan. Dan banyak lagi.
Meski belum sempurna melalui novelnya Salman telah memberanikan diri mengungkapkan realita masyarakat Sasak. Serta mengangkat harkat bahwa Bangsa Sasak memiliki tokoh besar dengan visi kemanusiaan yang tinggi di zamannya.
Memang ada cerita kelam. Tapi bukan untuk disesali atau membangkitkan dendam lama, tapi apapun itu sejarah harus diutarakan. Terlebih dari mulut kita sendiri, bukan dari kaca mata orang luar seperti selama ini.
Beberapa waktu lalu Lombok Post (LP) sempat berbincang dengan Salman Faris (SF) mengenai karyanya ini. Berikut petikan singkatnya:
LP: Bagaimana kabar, apa kesibukannya akhir-akhir  ini?
SF: Alhamdulillah, kabar saya baik. Seperti biasa, karena pekerjaan saya menulis dan mendidik, jadi kesibukan saya berpusat di kedua hal itu.
LP: Menarik mendengar respons positif berbagai kalangan terutama masyarakat Lombok mengenai novel terbaru Anda yang bertajuk Guru Dane, bisa Anda ceritakan sedikit ini tentang apa?
SF: Dari sudut pandang tokoh Guru Dane sendiri saya ingin mengatakan bahwa bangsa Sasak memiliki banyak tokoh-tokoh penting. Buruknya, tidak semua tokoh-tokoh itu kita ketahui. Dari sudut pandang pemikiran Guru Dane saya ingin mengatakan bahwa bangsa Sasak telah lama memiliki tradisi berpikir dan tradisi perjuangan kemanusiaan. Di tengah transisi yang sangat sulit dari kekuasaan Hindu Karangasem Bali ke penjajah Belanda, Guru Dane sudah meletakkan kesadaran pluralitas di tengah bangsa Sasak.
Dan lebih jauh dari itu, Guru Dane mempraktikkannya ke arah apa yang kita kenal di zaman postmodernisme ini sebagai multikulturalisme. Dari sudut pandang politik, saya ingin menguak tabir konspirasi kekuasaan atau pola-pola kekuasaan lokal bangsa Sasak yang selalu bertumpu kepada kekuasaan. Bukan kepada kebangsaan. Misalnya, Guru Dane menunjukkan sifat dasar penguasa lokal Sasak pada masa Hindu Karangasem Bali yang melakukan konspirasi politik dan ekonomi yang sama pada masa penjajahan Belanda. Artinya, karakter dasar penguasa lokal Sasak ialah kekuasaan.
LP: Bagi Anda apa genre novel yang Anda bahasakan ini. Fiksi, semi fiksi, sejarah atau apa?
SF: Sebagai penulis, pertama saya tidak ingin men-genre-kan diri, karena kewajiban saya ialah terus, tanpa henti menulis. Kedua, saya tidak punya kapasitas untuk melakukan hal itu, karena itu ialah wilayah pembaca dan kritikus sastra. Jadi semoga Anda punya waktu untuk bertanya kepada mereka.
LP: Apa yang melatarbelakangi Anda menulis sosok Guru Dane dalam sebuah roman?
SF: Yang pasti kegelisahan sebagai pewaris bangsa Sasak yang mewarisi sejarah tanpa bentuk dan warna. Di samping itu, tanggung jawab untuk tidak mewarisi apa yang saya terima pada saat ini kepada generasi Sasak. Dengan kata lain, saya ingin bangsa Sasak memiliki sejarah yang tegas, identitas yang tegas, karakter yang kuat, dan seterusnya. Ketegasan yang saya sebut tadi hanya bisa diperoleh dengan keberanian bangsa Sasak memilih dan membentuk sejarah, identitas, dan karakternya sendiri.
LP: Dr Alfons Van Der Kraan menceritakan dalam bahasa yang agak ‘’sinis’’ mengenai sosok Guru Dane dalam Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment. Bagaimana menurut Anda tentang tulisan ini?
SF: Pengetahuan itu ada dua, pengetahuan objektif dan pengetahuan subjektif. Bertolak dari hal ini, saya ingin mengatakan, pertama, sebagai ilmuwan, van Der Kraan telah menunjukkan hasil penelitian ilmiah, dan saya wajib menghargainya. Hanya saja, kita tidak boleh lupa untuk membaca hasil penelitian tersebut secara kritis. Kedua, bagaimanapun, kita harus melihat van Der Kran sebagai peneliti dari Belanda yang tidak mungkin dilepas begitu saja. Di sinilah pengetahuan subjektif itu berperan. Seobjektif apa pun hasil penelitian, hasil akhir tetap ditentukan oleh peneliti.
Terkait dengan ini kita bisa melihat pada, pertama, literatur yang dipergunakan van Der Kraan lebih banyak dari Belanda dan saya kira dari Karangasem Bali.
Ketiga, narasumber van Der Kraan, kita bisa melihat, narasumber dari bangsa Sasak tidak sebanding banyaknya dari narasumber lain. Selanjutnya, van Der Kraan hanya melihat dari sisi siapa yang diuntungkan oleh sejarah itu. Sama sekali tidak melihat dampak buruk dari sejarah tersebut yang dialami oleh bangsa Sasak.
Dengan kata lain, wilayah penelitian van Der Kraan ialah narasi besar, yakni para penguasa dan orang Sasak yang diuntungkan pada masa itu. Bukan rakyat Sasak, yang ribuan jumlahnya dalam kemiskinan. Untuk itu, penilaian van Der Kraan terhadap Guru Dane tetap saya lihat pada pertarungan narasi besar dan narasi terlupakan yang diwakili oleh Guru Dane.

LP: Masih mengenai tulisan Dr Alfons. Ada sejarah yang dikonstruksikan ulang dalam kaca mata Alfons, yang sedikit membuka ‘’aib’’ kelam sejarah Bangsa Sasak dalam hubungannya dengan Bali dan Belanda. Sebagai penggiat sejarah, seberapa pentingkah sejarah ini diketahui masyarakat, terutama masyarakat Lombok?
SF: Sebelumnya saya luruskan, saya bukan penggiat sejarah. Saya hanya ingin terus menafsirkan sejarah. Baik, penting atau tidaknya tergantung pada kemampuan kita menelaah material sejarah itu, dan keberanian kita untuk membongkar makna yang tersembunyi di balik material sejarah itu secara kritis. Dan terakhir, kedewasaan kita dalam menyikapi hasil telaahan dan temuan makna yang tersembunyi itu. Hanya saja saya ingin tegaskan, sebagaimana yang dikatakan pemikir postmodernisme, Foucault, sejarah itu tidak bersifat kontinyu, tidak hanya untuk diketahui, dan tidak bersifat linear. Melainkan sejarah harus selalu digerakkan terus-menerus. Karena pelaku sejarah bukan hanya pemenang, melainkan setiap orang. Artinya, setiap zaman Bangsa Sasak, setiap orang Sasak seharusnya menciptakan sejarahnya sendiri. Dan harus siap dibongkar, bahkan dilupakan oleh zaman berikutnya. Sebaik apa pun sejarah masa lalu, ia tidak boleh berulang, agar setiap zaman memiliki kesempatan untuk menciptakan sejarahnya sendiri. Begitu seharusnya bangsa Sasak.
LP: Kemudian manfaat apa yang mungkin Anda harapkan terutama kepada Bangsa Sasak dari novel Guru Dane Anda ini?
SF: Sebagaimana takdir Guru Dane yang kritis pada zamannya, saya sangat berharap Bangsa Sasak memiliki kesadaran kritis setiap saat. Guru Dane telah memberikan contoh tentang keberanian untuk bermimpi dan tidak takut memperjuangkan harapan. Dan yang tidak kalah pentingnya, Bangsa Sasak dapat hidup dan membangun peradaban berasaskan sikap toleransi, harga-menghargai dalam kemajemukan.
LP: Katakanlah novel ini mengandung unsur sejarah  dengan segala sisi pahit dan manisnya, menurut Anda seberapa pentingkah sejarah masyarakat Sasak ditulis atau direkonstruksi?
SF: Saya tidak hanya melihat sejarah pada wilayah menulis ulang dan mengonstruksinya. Akan tetapi pada wilayah dekonstruksinya, yakni pembongkaran secara kritis untuk menemukan nilai, makna di dalamnya. Karena sejarah tidak berarti apa-apa jika kita tidak menemukan makna dan nilai di dalamnya. Dan di sinilah kegagalan Bangsa Sasak. Misalnya, Makam Selaparang hanya dilihat objek materialnya. Sedangkan nilai dan makna yang terkandung di dalamnya dilupakan, sehingga apa yang dilakukan Bangsa Sasak terhadap Makam Selaparang hanya berkisar di wilayah kesadaran magis dan kesadaran naif. Tidak pada wilayah kesadaran kritis.
LP: Menerbitkan sebuah novel bermuatan sejarah membutuhkan waktu dan keabsahan data yang tidak kecil. Bisa Anda ceritakan bagaimana Anda bisa menggali informasi ini dan berapa lama pengumpulan datanya?
SF: Pertama, saya akui, literatur tentang Guru Dane sangat terbatas. Jangankan tentang Guru Dane, tokoh Sasak yang dimenangkan sejarah pun terbatas. Kedua, untuk mengatasi keterbatasan ini saya melakukan wawancara dengan klasifikasi usia narasumber minimal 70 tahun yang
tersebar di beberapa daerah di Lombok. Ketiga, sebagaimana metode penelitian sejarah, setelah data wawancara saya peroleh, saya analisis, komparasi, lalu menggali makna pada data-data tersebut untuk saya tafsirkan sebagai kesimpulan.
Saya tidak ingin mengatakan keabsahan data saya, karena keabsahan data sejarah sangat relatif dan subjektif. Untuk itu, jika mau diperdebatkan, menurut saya, tidak terpusat pada keabsahan data, melainkan kepada pemaknaan data. Dengan begitu, kita akan semakin kaya dalam melihat makna dan nilai sejarah kita. Proses ini saya lakukan lebih dari setahun. Nah, menyambung soal kegagalan sejarah Bangsa
Sasak tadi, menurut saya, salah satu pemicunya ialah ketidakberanian Bangsa Sasak melihat, menerima, dan memaknakan sejarah secara berbeda. Padahal, letak nilai sejarah pada cara kita yang berbeda dalam meresapinya.
Bagi saya, sejarah anti-keseragaman.
LP: Tentu saja biaya produksi novel ini tidak kecil. Dari mana Anda mendapatkan dana dan seberapa besar? Lalu bisakah hasil penjualannya menutupi?
SF: Alhamdulillah, saya beruntung dalam novel ini karena pihak kampus STKIP Hamzanwadi Selong, tempat saya sebagai pendidik dengan senang hati membiayai ongkos penerbitan. Sedangkan biaya penelitian sepenuhnya saya sendiri. Untuk novel saya sebelumnya saya biayai
sendiri.
Dan sudah tentu, jika diakumulasi dari proses penelitian, penulisan, distribusi, dan lain-lain, boleh saya katakan, saya selalu
defisit. Tetapi saya merasa bangga karena Bangsa Sasak sudah mulai mau membaca tulisan saya. Soal untung-rugi bukan urusan saya, karena proses yang tiada hentilah yang menentukan keduanya.
LP: Anda kini tengah menuntaskan program doktoral bidang kebudayaan. Adakah target ke depan mengeluarkan karya-karya serupa dalam ranah sejarah dan budaya khususnya mengenai Bangsa Sasak?
SF: Saya sedang merampungkan novel yang insya Allah berjudul “Guru
Onyeh”. Berisi tentang dekonstruksi cerita-cerita rakyat dan mitologi bangsa Sasak dalam upaya membentuk identitas. Ketika saya mengikuti Majelis Sastra Asia Tenggara bidang novel se-Asia Tenggara untuk
mewakili Indonesia bulan Juli lalu, novel ini saya presentasikan dan mendapat respons yang sangat positif dari sastrawan Asia Tenggara. Mudahan-mudahan novel ini bagus dan bernasib baik. Tahun depan saya sudah sepakati kerja sama dengan LEPIM IAIN Mataram untuk menulis novel
sejarah “Guru Sapian” yang bersumber dari “Babad Praya”. Di samping itu saya ada pekerjaan menulis tentang  “Fenomena Fairuz Abu Macel” dan “Ampenan Masa Depan”. Semuanya berisi tentang nilai sejarah, kebangsaan, dan kebudayaan Lombok, Sasak khususnya.
LP: Apa harapan Anda kepada mereka baik individu maupun kelompok yang mengetahui sejarah Bangsa Sasak,  namun terkesan diam dan menutupi?
SF: Sikap itu tidak ada gunanya. Dan harapan saya, janganlah mengaku mengetahui sejarah bangsa Sasak jika pengetahuan itu hanya untuk diri sendiri.
LP:Terakhir, apakah Anda tidak takut dengan berkata begitu?
SF: Sama sekali tidak. Justru yang saya takutkan ialah Bangsa Sasak gagal meraih puncak masa depan karena ketakutan-ketakutan itu. (zulhakim)



DATA PRIBADI

Nama           : Salman Faris
Tempat Lahir : Rensing
Alamat Asal   : Rensing Bat, Sakra Barat, Lombok Timur, NTB (83671)
Alamat Sekarang: Jalan Sunan Bonang I, F11 Perumahan Bumi Kodya Asri, Mataram, NTB
Pekerjaan    : Dosen Tetap STKIP Hamzanwadi Selong dan Penulis.


PENDIDIKAN
Perguruan Tinggi :
S-1  Institut Seni Indonesia Jogjakarta (2004)
S-2  Institut Seni Indonesia Jogjakarta (2010)
S-3  Universitas Udayana Denpasar (sedang berlangsung)

PENGALAMAN
1.Spanish Indonesia Educational Project for Theatre (2000).
2. Butoh Japan Theatre (2001).
3. Lombok Art Festival (2006).
4.  Art and Culture Open (2006).
5.  Kongres Nasional Cerpen (2005)
6. Peserta MASTERA: Majelis Sastra Asia Tenggara-Novel  (2011)
7. Peserta pelatihan bahasa internasional (2010)
8. Juara 1 tingkat nasional lomba penulisan naskah lakon (2002).
9. Juara 1 lomba penulisan naskah lakon se-DIY (2001).
10.Sutradara dan penulis naskah lakon terbaik Festival Teater Modern se-NTB (1996).
11.Ketua Jaringan Intelektual Nahdlatul Wathan (JINWA).
12.Art Director Lombok Teater.
13.Penulis novel “Tuan Guru” (2007), novel ‘’Perempuan Rusuk Dua-as the former sasak woman” (2009), dan Guru Dane (2010).

sumber : www.lombokpost.co.id