Momentum peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang setiap tahun kita peringati sudah selayaknya menjadi peringatan global bagi rakyat Indonesia, dalam mengenang jasa para pahlawan yang memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan di republik ini. Mereka telah rela mengorbankan jiwa dan raga untuk melawan penjajah serta menelurkan gagasan-gagasan brilian telah membawa pemikiran yang hingga kini masih dipegang teguh oleh kita semua yaitu Pancasila dan UUD. Memang terlihat seperti rutinitas yang sengaja diulang-ulang saja, ketika tiba tanggal 17 Agustus, serentak seluruh rakyat dibanjiri euforia kemerdekaan, di situ terngiang tentang kesejahteraan, kebahagiaan, keadilan, dalam pidato tahunan sang pemimpin, memberi angin segar dan harapan bagi seluruh rakyatnya baik yang ada di kolong jembatan, gelandangan, orang-orang miskin kelaparan kota dan desa, jaminan keamanan dan perdamaian seakan mendapat jaminan bahwa penderitaan mereka tidak akan lama lagi akan berakhir.
Mari
kita lihat 68 tahun yang lalu, para ahli, para pejuang, para pendidik serentak
kompak mengumpulkan kekuatan demi merebut kemerdekaan yang sudah menjadi milik
kita semenjak raja-raja kuno masih berkuasa. Di tengah kondisi negara yang
sangat memprihatinkan, pendidikan yang jauh dari standar, jiwa-jiwa mulia
dengan berani mengatakan tidak pada kolonialis, dan bekerja keras demi sebuah
pergerakan. Soekarno, Hatta, Syahrir, dll, sosok yang dinanti-nanti saat itu untuk
menjawab keluh kesah rakyat dan keputusasaan. Inilah kekuatan mereka. Mental
kepemimpinan penuh cita-cita yang diwariskan hingga saat ini tetap membekas
membatu dalam diri tiap manusia Indonesia.
Tidak
mudah memaknai sebuah kemerdekaan, waktu 68 tahun pun bahkan belum cukup
dirasa. Dalam 23 tahun pertama semenjak 1945, tantangan begitu besar,
pembelajaran tentang demokrasi, dari sistem presidensial hingga terpimpin.
Arena ini dijadikan wadah belajar paling bersejarah bagi Indonesia, di mana
balita yang mencoba untuk bangkit kemudian jatuh, hanya bentuk roda
berkehidupan di tengah ambisi dan keegoisan banyak pihak. Setelah itu ada
kekuatan militer yang berkuasa, pembangunan dan pengembangan dinomorsatukan,
kekuatan terpusat, ekonomi kuat, rakyat diam, tak berani bergumam. Sehingga
dibutuhkan 32 tahun lagi untuk belajar melihat arti dari sebuah reformasi. Di
awal reformasi juga tidak mudah. Korupsi, pers yang melebihi batas,
rahasia-rahasia baik menyangkut orang perorangan maupun negara terkuak ke
publik, wakil rakyat yang meledak, budaya kesenian dan pulau yang dirampas,
mafia, dan masih banyak lagi. Semua tersistemkan dengan rapi semenjak gelora
reformasi dikumandangkan. Banyak yang mempertanyakan tentang apa saja yang akan
direformasi, sistemnya? Atau orang-orangnya? Reformasi yang belum tuntas itulah
yang menjadi agenda pekerjaan rumah kita hingga hari ini.
Apa
yang terjadi sekarang? Apakah tetap meratapi nasib yang seperti ini? Pancasila
dan UUD bukan sekedar pajangan di dinding-dinding sekolah. Tidak banyak orang
menyadari roh yang dikandung dalam tulisan-tulisan itu. Betapa besar
pengorbanan, tumpah darah, dan kemuliaan sejarah yang ditorehkan oleh mereka
para pelopor. Betapa banyak kepentingan orang yang dipikirkan hingga lahirnya
gagasan itu. Apakah kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan bagi seluruh rakyat
Indonesia akan tetap bertengger di panggung bernamakan “mimpi dan cita-cita”
saja?
Anies
Baswedan Rektor Universitas Paramedina mengatakan bahwa kesejahteraan rakyat
yang ada dalam pancasila dan UUD adalah sebuah janji kemerdekaan! Benar sekali.
Ini menandakan bahwa semua itu memang harus direalisasikan oleh segenap rakyat,
seluruh golongan, tidak terkecuali. Bukan hanya jadi puisi indah bersama
kibaran merah putih. Ini sudah jadi kewajiban kita sebagai warga negara
Indonesia yang sadar tentang nilai-nilai kemerdekaan.
Tidak
ada lain yang patut kita pertaruhkan demi kemajuan di masa depan adalah sikap
positif dan memiliki rasa optimis terhadap semua hal di negeri ini. Di
tengah-tengah keterpurukan, bukan keluhan dan ratapan yang semestinya
digembor-gemborkan, hanya akan menambah penderitaan saja karena energi negatif
yang kita tanam dalam-dalam di hati sanubari kita sebagai bangsa yang putus asa
tetap akan tumbuh menjulang. Pemuda indonesia sebagai generasi penerus dan yang
mewarisi kemerdekaanlah yang memiliki ambisi positif, yang kerap mengutamakan
pemikiran kepentingan global, yang akan siap mengembalikan tatanan jiwa-jiwa
hampa dan sepi bangsa Indonesia yang telah sekian lama jatuh, untuk bersiap
mengumpulkan kekuatan penuh demi kemajuan dan kemerdekaan yang sebenar-benarnya
di masa yang akan datang. Kapan itu semua terlaksana? Seberapa siap kita
menunaikan kewajiban untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki? Sudah pantaskah kita
dikatakan sebagai agen perubahan? Marilah kita sebagai manusia indonesia yang
diharapkan bisa membangun dan meneruskan perjuangan para pendiri bangsa dengan
modal optimisme yang kita bangun maka pembangunan bangsa, daerah, desa kita
akan semakin baik di masa mendatang.
Ada
bebarapa hal yang mungkin dilakukan untuk membangun kembali optimisme kita
dalam mengisi kemerdekaan :
1.
Temukan hal-hal positif dari
pengalaman masa lalu, sepahit apapun pengalaman itu. Dalam kegagalan, sekalipun
masih ada keberhasilan-keberhasilan kecil yang terselip, cobalah temukan
keberhasilan itu dan syukuri keberadaannya. Upaya ini paling tidak akan
mengobati sebagian dari perasaan hancur yang kita derita.
2.
Tata kembali target yang ingin kita
capai. Jangan terbiasa membuat target yang berlebihan. Kita memang harus
optimis, tapi kita perlu juga mengukur kemampuan diri sendiri. Kita juga perlu
menelaah lebih jeli cara apa yang mungkin kita lakukan untuk mencapai target
tertentu.
3.
Pecah target besar menjadi
target-target kecil yang dapat segera dilihat keberhasilannya. Seringkali ada
manfaatnya untuk melihat keberhasilan-keberhasilan jangka pendek dari sebuah
target jangka panjang. Hal ini akan semakin menumbuhkan semangat dan optimisme
dalam diri kita. Tentu kita harus terus mensyukuri apa yang kita peroleh dari
capaian target-target kecil tersebut.
4.
Bertawakal kepada Allah. Menyadari
adanya satu kekuatan yang dapat menolong kita di saat kita menghadapi rintangan
merupakan modal dasar yang cukup ampuh dalam membangun optimisme. Bertawakal
tentu harus dilakukan bersamaan dengan upaya kita memperbaiki target dan
strategi pencapaiannya.
5.
Langkah terakhir kita perlu merubah
pandangan kita terhadap diri sendiri dan kegagalan. Kita perlu lebih sayang dan
menghargai diri sendiri. Jangan kita terus menerus mengejek diri sendiri. Potensi
yang kita miliki harus terus dikembangkan dan tak boleh dinggap sepele.