Lebaran bagi umat islam
telah menjadi semacam realitas sosial budaya dan keagamaan yang melahirkan daya
tarik dan keunikan tersendiri. Dalam khazanah Islam, perayaan atau hari raya
terbesar kaum muslimin sesungguhnya adalah Idul Adha atau Idul Kurban (10
Zulhijah) yang diistilahkan sebagai Id al-akbar (hari raya besar), bukan
Idul Fitri (1 Syawal) yang diistilahkan sebagai Id al-ashghar (hari raya
kecil). Akan tetapi di Indonesia khususnya, yang terjadi justru sebaliknya,
Idul Fitri itulah yang dianggap sebagai hari raya terbesar umat Islam.
Dalam momentum berlebaran
banyak kegiatan keagamaan, sosial dan budaya yang menjadi kebiasaan atau
tradisi yang sering kita temukan dilakukan oleh kaum muslimin seperti takbiran
malam lebaran, ziarah kubur, bagi-bagi zakat, infaq dan sedaqah untuk anak
yatim dan fakir miskin, bagi ibu-ibu khususnya membuat jajan/kue khas lebaran,
bagi remaja/pemuda biasanya mengadakan kegiatan semacam lomba, bagi anak-anak
biasanya membunyikan petasan, saling mengunjungi satu sama lain untuk berjabat
tangan saling maaf memaafkan secara langsung maupun melalui pesan singkat atau
jejaring sosial, membuat acara halal bilhalal, mudik atau pulang kampung bagi
yang berada ditempat jauh dari keluarganya, beli baju baru, dan banyak lagi
yang lainnya.
Salah satu kegiatan untuk
mengisi waktu lebaran idul fitri adalah tradisi silaturahmi saling memaafkan
antara muslim yang satu dengan yang lain dan barangkali ini menjadi tren
peristiwa berlebaran. Islam sebetulnya mengajarkan umatnya untuk bersilaturahmi
maaf-memaafkan antar sesama tidak hanya dihari lebaran melainkan setiap saat
namun mengapa kesadaran orang untuk saling memaafkan sangat tinggi pada suasana
Lebaran? Jawabnya adalah pengaruh nilai ibadah puasa yang sudah dijalankan
selama satu bulan itulah yang membawa naluri kesadaran seseorang untuk
melakukannya agar kesempurnaan pahala ibadah puasa bisa diperoleh dengan saling
memaafkan.
Rasulullah
SAW sudah menjanjikan, siapa yang puasa Ramadhan dengan iman dan ihtisaban akan
diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Dengan arti kata, kalau kita berhasil
mencapai seperti yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW tersebut, tentu pada hari
Lebaran sudah terbebas dari segala macam dosa. Secara keyakinan, dosa-dosa yang
berhubungan dengan Allah telah diampuni. Namun, manusia harus saling memaafkan
agar dosa sesama diampuni-Nya pula. Di sinilah pentingnya silaturahmi untuk
menggalang persaudaraan, saling terbuka maaf-memaafkan, dan berbuat baik dengan
sesama.
Memaafkan adalah proses
untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau marah karena merasa disakiti
atau dizhalimi. Pemaafan (forgiveness) sendiri, menurut ahli psikologi
Robert D. Enright, adalah kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan,
penilaian negatif, dan perilaku acuh-tidak-acuh terhadap orang lain yang telah
menyakitinya secara tidak adil. Melengkapi pandangan Enright di atas, Thompson
mendefinisikan pemaafan sebagai upaya untuk menempatkan peristiwa pelanggaran
yang dirasakan sedemikian hingga respon seseorang terhadap pelaku, peristiwa,
dan akibat dari peristiwa yang dialami diubah dari negatif menjadi netral atau
positif.
Memaafkan memang tidak
mudah. Butuh proses dan perjuangan untuk melakukannya. Para ahli sufi berkata
bahwa memaafkan harus dilatih terus-menerus. Sifat pemaaf harus tumbuh karena
''kedewasaan rohaniah''. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita
mengendalikan kekuatan ghadhab di antara dua kekuatan : pengecut dan pemberang.
Sifat pemaaf menghias akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Rohani mereka
telah dipenuhi sifat Tuhan Yang Maha Pengampun (To err is human, but to forgive
is divine).
Adanya kebaikan bagi diri
kita dan bagi orang lain akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang mungkin
dilakukan. Seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford California,
Frederic Luskin, pernah melakukan eksperimen memaafkan pada sejumlah orang.
Hasil penelitian Luskin menunjukkan bahwa memaafkan akan menjadikan seseorang:
(a) Jauh lebih tenang kehidupannya. Mereka juga (b) Tidak mudah marah, tidak
mudah tersinggung, dan dapat membina hubungan lebih baik dengan sesama. Dan
yang pasti, mereka (c) Semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain.
Para ahli psikologi mempercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemaafan (forgiveness) merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual. Pada beberapa tahun belakangan, pemaafan semakin populer sebagai psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima dan membebaskan emosi negatif seperti marah, depresi, rasa bersalah akibat ketidakadilan, memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan. Pemaafan selanjutnya secara langsung mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibodi, dan mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat.
Pada saat berpuasa,
kesediaan kita untuk memaafkan juga tinggi. Kita memiliki semangat yang tinggi
untuk memperoleh pahala dan menguras dosa-dosa kita. Maka, saat lebaran datang,
kita bahkan mengobral pemaafan. Tetapi semoga pemaafan tidak hanya di bibir,
tapi sampai di hati. Allâh ‘Azza wa Jalla melalui al-Qur’ân memberikan
resep agar pemaafan tuntas, yakni memohonkan ampunan bagi mereka serta
bermusyawarah. “Maka disebabkan rahmat
dari Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali ‘Imron [3]: 159)
Dalam kehidupan
sehari-hari begitu banyak perkataan kita sampaikan ke orang lain dan begitu
banyak perbuatan yang kita tunjukkan ke orang lain. Di antara puluhan hingga
ratusan kata dan perbuatan itu, sangat mungkin sebagian di antaranya
menyebabkan orang lain marah. Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda
Rasulullah saw, “Barangsiapa pernah melakukan kedzaliman terhadap
saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka
hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak
berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil
darinya seukuran kedzalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi),
akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibenankan
kepadanya. (HR al-Bukhari).
Salah satu pengetahuan
yang sudah lama kita simpan berkaitan dengan masalah ini adalah dosa orang
tidak dimaafkan kecuali korban atau orang yang dirugikan memberi maaf. Memang
ada kemungkinan orang yang menjadi korban dari perbuatan dzalim kita akan
memberi maaf. Namun, ada kemungkinan juga dia tidak memberikan maaf. Dia simpan
kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Kalau itu yang terjadi, dosa tetap
tersandang dalam diri kita.
Karenanya, pilihan yang
lebih proaktif, yaitu meminta maaf, menjadi pilihan yang lebih menjamin
kepastian dihapuskannya dosa-dosa. Meminta maaf jelas merupakan salah satu
bentuk kerendahhatian (tawadhu’) pribadi dan tentu juga merupakan salah
satu bentuk keberanian manusia.
Allah berfirman dalam
surat ali imran ayat 135 yang artinya : ''Orang-orang yang apabila berbuat keji
atau berbuat dosa, mereka ingat kepada Allah dan meminta maaf atas
dosa-dosanya. Siapa lagi yang mengampuni dosa selain Allah. Dan, ia tidak
mengulangi lagi apa yang dikerjakannya padahal mereka mengetahuinya''.
Marilah kita saling
memaafkan agar pahala puasa kita sempurna dan menjadi manusia bertakwa di hari
nan fitri ini. Memberi maaf atau meminta maaf sebetulnya tidak hanya di hari
lebaran namun maaf memaafkan sebaiknya terjadi kapan saja sehingga hati dan
jiwa manusia bersih dari penyakit hati dan dosa kepada Allah SWT.
Selamat Hari Raya Idul Fitri Minal
A’idiin walfaidzin walmakbuliin,mohon maaf lahir bathinOleh Nuruddin